Hari ini kita memperingati hari
kesaktian Pancasila. Hari dimana pada tanggal 01 Juni 1945 para pejuang
bangsa mendeklarasikan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pelajaran
sejarah bangsa, dituliskan bagaimana proses kelahiran pancasila itu
diceritakan. Para founding father telah berpikir jauh ke depan
untuk kemajuan bangsa yang multi etnis, suku, antar golongan, dan agama.
Oleh karena itu pancasila lahir sebagai simbol pemersatu bangsa dengan 5
silanya yang selalu dibacakan di saat upacara bendera di
sekolah-sekolah atau kantor-kantor pemerintah.
Seandainya kita sebagai penerus bangsa
mampu menggali nilai-nilai luhur pancasila yang terkandung di dalamnya,
tentu tak ada lagi orang yang hidup tersia-sia. Sebab kita adalah
makhluk yang saling menyayangi dan memiliki Tuhan yang Maha Esa.
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kalimat indah yang menunjukkan bahwa
bangsa ini adalah bangsa berketuhanan, dan bukan bangsa komunis. Bangsa
yang memiliki agama yang diakui oleh negara. Bila kita saling
menghormati antar agama, maka tak ada permusuhan karena keyakinan agama
yang kita anut. Tak ada lagi pelarangan pendirian rumah ibadah, apalagi
saling membakarnya karena merasa agama mereka yang paling benar. Padahal
kerukunan hidup umat beragama sangat dirindukan oleh kita semua sebagai
insan yang beragama.
Demikian pula dengan sila kedua
pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita wajib memanusiakan
manusia, karena kita adalah manusia yang beradab. Tindak kriminalitas
yang ada saat ini menunjukkan bahwa kita sudah mulai menjauh dari
manusia yang beradab. Manusia yang beradab adalah manusia yang taat
aturan dan mau berbagi kepada sesama. Tidak mementingkan dirinya sendiri
atau golongannya, namun mau berbagi kepada sesama. Sayangnya, jiwa
kemanusian kita sudah mulai meluntur, dimana yang muda terlihat tawuran,
dan yang tua berebut kekuasaan. Seolah-olah manusia Indonesia yang
beradab telah berganti menjadi manusia Indonesia yang berhati serigala.
Saling curiga dan jauh dari rasa adil kepada sesama. Kita tidak lagi
saling menyayangi sebagai makhluk Tuhan yang berakal budi.
Dalam sila persatuan Indonesia, kita
telah diajarkan para tetua bangsa akan pentingnya persatuan sebuah
bangsa. Kita memang terlahir dari suku dan etnis yang berbeda, namun
kita adalah bangsa yang satu. Bhinneka tunggal ika adalah
simbol yang mempersatukan kita. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Persatuan itu menjadi sangat mahal ketika sifat materialistis hinggap
dalam diri. Sifat hanya mementingkan diri sendiri serta mengumpulkan
harta sebanyak-banyaknya untuk golongannya saja, membuat persatuan ini
terasa rapuh. Kita tak lagi dipersatukan sebagai sebuah bangsa. Orang
betawi bilang, “elu-elu, gue-gue”. Tak ada kesadaran untuk menyatukan
diri dalam sebuah gerakan persatuan bangsa. Kita harus belajar kepada
tetua atau pendiri bangsa bagaimana mereka menyatukan semua komponen
bangsa menjadi satu. Itulah yang disebut persatuan indonesia. Saling
bahu membahu mengharumkan nama bangsa dikancah dunia atau internasional.
Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan telah berubah
menjadi kekuasaan yang menjerat rakyat. Kekuasaan seolah bukan lagi di
tangan rakyat, tetapi ditangan elit penguasa. Para pemimpin tak lagi
bijak dan bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu. Rakyat dianggap
seperti kerbau yang bisa dicucuk atau dicocok hidungnya. Kita pun
menjadi sedih karena banyak pemimpin daerah yang terjerat korupsi karena
tak lagi melihat rakyat sebagai ladang amal untuk menjadikannya
sejahtera. Keputusan diambil sepihak dan tidak lagi mendengar suara
rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dalam
permusyawaratan/perwakilan hanya indah diucapkan tetapi kurang
dijalankan. Pemimpin pun menjadi otoriter dan tidak demokratis. Banyak
kebijakan strategis akhirnya tak berpihak kepada rakyat banyak.
Sila terakhir pancasila serasa semakin
menjauh dari rakyat. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
serasa jauh panggang dari api. Orang miskin dilarang sakit dan sekolah.
Rumah sakit dan sekolah hanya milik mereka yang mampu. Mereka yang hidup
dalam garis kemiskinan hanya bisa melihat dan menonton saja. Keadilan
sosial belum menyentuh lapisan bawah. Terjadi kastanisasi, baik dalam
bidang pendidikan maupun kesehatan. Keadilan serasa belum merata, dan
belum semua rakyat Indonesia merasakannya. Semoga keadilan sosial yang
dituliskan oleh para pendiri bangsa benar-benar terwujud bagi seluruh
rakyat Indonesia. Kitapun berharap, keadilan di bidang hukum juga merata
kepada semua kalangan. Tidak lemah ditingkat elit, dan kuat ditingkat
rakyat yang tertindas. Kasus sandal jepit dan perlakuan tenaga kerja
Indonesia yang diperlakukan secara semena-mena oleh majikannya di luar
negeri harus menjadi cambuk bahwa hukum yang terjadi masih hukum rimba.
Kita yang lemah hanya bisa mengurut dada, dan mereka yang kuat akan
berjalan dengan tegap dan sombongnya.
Akhirnya, saya hanya bisa berharap,
kelahiran pancasila dan selalu diperingati setiap tahunnya pada tanggal 01
Juni membuat kita saling introspeksi diri. Tak perlu menyalahkan orang
lain. Kita jaga diri dengan pengamalan nilai-nilai pancasila secara
benar agar mampu menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang terkenal
dengan keramah tamahannya, dan sifat kegotong royongannya. Kita pun
menjadi sebuah bangsa yang saling tolong menolong. Mampu berbuat adil,
dan menyadari bahwa kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki
dasar negara pancasila yang bertujuan sangat mulia. Kita pun adalah
bangsa yang beragama dengan adanya kerukunan hidup antar umat beragama.
Saya percaya, pancasila yang telah menjadi pilar bangsa akan terus
mempersatukan kita sebagai bangsa yang besar dan disegani bangsa lainnya
di dunia.
0 comments:
Post a Comment