Kesempatan Ramadhan yang di dalamnya dijanjikan rahmat (karunia), maghfirah (ampunan), dan itqun min al-nar (pembebasan dari api neraka), sesungguhnya momentum ideal menemukan solusi banyak hal bagi umat. Pertama, puasa yang benar dapat membangunkan hati Mukmin yang ‘tertidur’ sehingga merasakan muraqabatullah (perasaan diawasi Allah). Ketika seorang yang berpuasa men-tadabbur sebagian siangnya sehingga merasakan haus dan lapar, ia akan menahan diri tidak makan dan tidak melakukan kemunkaran hanya karena perintah Allah. Kondisi ini membuat seseorang merasakan kehadiran Ilahi yang memantau gerak geriknya.
Kedua, bulan Ramadhan yang merupakan satu bulan dari 12 bulan dalam setahun, dimuati dengan ketaatan dan taqarrub kepada Allah yang dapat memanifestasikan makna ubudiyah kepada-Nya yang paling tinggi. Hal ini tidak mungkin dapat terwujud bila hanya ‘kerja keras’ di depan meja makan saat berbuka dan sahur.
Ketiga, perut kenyang dalam kehidupan Muslim dapat memandulkan perasaan sehingga hati menjadi keras, menyuburkan sikap liar, dan maksiat kepada Allah dan sesama manusia. Dan ini bertentangan dengan karakter Muslim sesungguhnya. Keempat, sesungguhnya bagian dari fundamen-fundamen penting yang menyokong kebangkitan umat Islam adalah kasih sayang resiprokal dan solidaritas sosial di antara sesama Muslim.
Para the haves akan sulit menyayang orang fakir dengan kasih sayang yang jujur tanpa melewati dan menjalani keperihan dan derita kefakiran serta pahitnya kelaparan itu sendiri. Manfaat yang paling berharga yang dipetik oleh orang kaya adalah kesempatan menjadi ‘orang fakir dan miskin’ tersebut, karena ia mengalami hidup seperti itu secara riil.
Ketika solusi muraqabatullah, ketaatan, taqarrub, kasih sayang, solidaritas, dan kepedulian sosial dapat dikapitalisasi di bulan Ramadhan dan direalisasi di luar bulan ini, sesungguhnya banyak persoalan negeri dan bangsa ini dapat diselesaikan. Di antaranya, persoalan korupsi, pembunuhan, perampokan, kenaikan BBM yang disusul dengan peristiwa terkutuk pemboman Bali jilid II dan banyak lagi penyakit-penyakit sosial lain yang terjadi di tengah masyarakat karena terkikisnya nilai-nilai tersebut.
Kendati demikian, bulan Ramadhan –bila dimanfaatkan secara optimal oleh semua unsur– dapat menjadi ajang menumbuhkan empati dan kepedulian sosial yang lenyap tersebut, sehingga yang diutamakan bukan hitungan rasional-matematis saja, tetapi ikut ‘merasakan’ derita dan jeritan hati rakyat. Hal ini bisa dilakukan dengan menunda atau menekan persentase kenaikan seminimal mungkin.
Karena itu perlu bagi umat untuk kembali merenungkan ungkapan terakhir dari surat Al-Baqarah:183, bahwa yang mewajibkan puasa adalah la’allakum tattaqun dalam kata kerja mudhari yang hendaknya dimaknai agar dapat merealisasikan nilai-nilai muraqabatullah, ketaatan, dan kasih sayang secara terus-menerus, tidak hanya di saat bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan, sekali lagi, sebagai wahana memupuk solidaritas tinggi antarumat manusia yang disempurnakan pada akhir bulan dengan kewajiban membayar zakat fitrah sebagai manifestasi puncak solidaritas sosial tersebut. Sikap dan kepribadian positif, produktif, empatik, dan menghadirkan keputusan win-win solution adalah sosok pribadi yang lulus secara gemilang dari madrasah Ramadhan yang penuh solusi. Wallahu a’lam..
0 comments:
Post a Comment