Saturday, July 23, 2011

Dewa Dari Leuwinanggung Part. I

Dewa Dari Leuwinanggung




Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?


LEUWINANGGUNG adalah sebuah desa yang mirip kebanyakan dusun Pulau Jawa. Di sana ada rumah, sekolah, masjid, klinik, pohon dan bambu, madrasah ibtidaiyah, serta kantor lurah. Tetapi Leuwinanggung tak sama dengan desa-desa lain di Pulau Jawa karena di sana berumahlah seorang dewa .... namanya Iwan Fals.


Dewa ini tinggal di sebuah rumah besar. Tanahnya 6.000 meter persegi. Bagian terbesar dipakai untuk sebuah toko, pendopo, sebuah panggung terbuka, maupun kantor organisasi para penggemar si dewa bernama Oi. Kediaman pribadi dewa ini dilengkapi studio musik, garasi mobil (termasuk bus), rumah tinggal, serta kebun dengan rumput tercukur rapi.




Suatu sore September lalu, Iwan Fals menceritakan perkenalannya dengan Leuwinanggung pada saya. “Tahun 1982 saya cari tanah di sini, maksudnya untuk investasi saja,” katanya. Dia membeli tanah dari rezeki penjualan kaset Sarjana Muda yang diluncurkan 1981 dan terjual 300 ribu buah. Kisah berikutnya, dia sekali-sekali datang dari Jakarta bersama istrinya, mantan model Yos Rosana, menengok tanah mereka serta membawa pulang buah-buahan dari kebun.


Leuwinanggung menarik karena warganya rukun. Kalau ada acara perkawinan, jaipongan, atau kematian, semuanya kumpul. “Bila ada kematian, pengunjung yang datang justru dibayar. Diberi uang. Mereka bahkan sampai ngutang. Dalam hati saya pikir, ‘Gagah amat.’ Saya merasa kecil sekali. Kayak jawara gitu. Ada kegagahan di sini. Kalau mereka datang kenduri, duduk, pandangan ke depan, nggak ditegur ya diam saja. Kalau ada makan ya nggak rakus. Saya kan dulu nggak tahu. Ada makanan ya saya makan,” kata Iwan.


Kalau sedang tak sibuk, Iwan ikut salawatan tiap malam Jumat. “Bahasanya campur Arab, Sunda, Jawa. Ada 20 nomor salawatan lama yang saya kumpulkan.” Salawatan untuk sebuah desa macam Leuwinanggung, yang tanahnya, kapling demi kapling dibeli orang Jakarta, dan anak-anak mudanya mulai kekurangan pekerjaan, bisa jadi kekuatan untuk desa ini. “Kekuatan secara batin, secara spiritual,” kata Iwan.


Leuwinanggung sendiri terletak di daerah Bogor. Penduduk di sana sehari-hari bicara bahasa Sunda kasar. Orang butuh sekitar satu jam naik taksi dari Jakarta ke Leuwinanggung. Daerahnya terpencil. Selewat magrib, jalanan Leuwinanggung sepi dan jarang ada kendaraan. Ketika 16 Agustus lalu saya kemalaman di Leuwinanggung, lewat tengah malam saya jalan kaki empat kilometer untuk mendapatkan tukang ojek.


Ketika itu sekitar 600 penggemar Fals dan penduduk Leuwinanggung merayakan Agustusan bersama. Di sanalah saya menemukan banyak iwan fals. Mereka bergaya ala Fals dengan rambut gondrong, jins belel, memberi salam dan berteriak “Oi.” Suaranya dibuat dalam, agak serak. Di panggung, lagu-lagu Fals dibawakan bergantian, dari yang mirip aransemen aslinya, sehingga mendapat tepuk tangan, sampai yang ditertawakan penonton—dapat tepuk tangan juga.


Yang ditertawakan termasuk seorang pemuda 30-an tahun. Topinya merah, rambutnya gondrong sepundak, kulitnya gelap, giginya putih bersih, dan namanya Fajar Wijaya. Fajar seorang pengamen kelahiran Yogyakarta tapi lebih sering mengamen di Cilegon. “Saya terharu, menjerit, merasa ada panggilan hati. Dapat bimbingan dari lagunya itu,” katanya, mengacu lagu Di Mata Air Tak Ada Air Mata.


“Saya merasa kok ada hikmah tersendiri buat hidup saya. Saya merantau. (Lagu) ini nasihat dalam perjalanan hidup saya. Saya merenungkan jati diri saya,” kata Fajar, tersenyum sembari menarik-narik baju luriknya yang lusuh.


Iwan Fals memang bukan dewa dalam pengertian mitologi Yunani. Mungkin kedewaan Fals lebih dekat dengan fenomena musik 1960-an ketika dinding-dinding kota London dicorat-coret dengan kalimat, “Clapton is god (Clapton seorang dewa).” Mereka yang anonim itu memuja Eric Clapton, gitaris blues Yardbirds yang muncul di Inggris pada 1963. Majalah Rolling Stone menyebut Clapton menonjol karena konsisten menjaga standar mutu karyanya.


Orang yang malam Agustusan itu tak kalah sibuknya dengan Fajar adalah Slamet Setyabudi, koordinator keamanan Oi, yang sehari-hari bekerja sebagai tentara dengan pangkat sersan dua dari Pasukan Pengawal Presiden. Slamet badannya tegap, orangnya ramah. Dia anggota Grup C, yang bertugas mengawal tamu-tamu negara. Dia pernah mengawal Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Timor Lorosa’e Xanana Gusmao. “Habis dinas saya ke sini,” katanya.


Slamet sesekali membawa rekan-rekannya ke Leuwinanggung untuk bantu keamanan. “Tentara yang penggemar Mas Iwan ini sebenarnya banyak,” katanya. Saya sempat berpikir nakal. Negara Indonesia membayari ratusan tentara untuk mengawal presiden dan wakil presiden. Mereka menerima gaji, sering pergi ke luar negeri, menerima pelatihan, mendapat seragam keren. Tentara yang sama mengawal Iwan Fals dengan gratis!


Malam itu lebih dari selusin pengurus Oi bercerita tentang Fals pada saya. Mereka cerita para penggemar yang terperangah ketika pertama kali menemui Fals. Banyak yang “gila” dengan memeluk, mencium tangan, dan menangisi Fals. Ada yang datang dari Flores, Riau, Jambi, dan sebagainya.


Malam itu saya berharap melihat ritual tersebut. Ratusan penggemar berharap sang dewa muncul. Namun Iwan tetap tinggal di rumah. Dia “meriang, kecapekan” dan dicurigai kena tipus. Dewa ini ternyata manusia biasa yang bisa sakit.



MALAM itu juga ada Muhamad Ma’mun. Seorang lelaki yang menarik. Penampilannya kalem, rambutnya panjang, dan terkadang dipanggil “Romo.” Ma’mun dulu pernah kerja di perusahaan properti tapi sekarang wiraswasta, memborong pekerjaan bangunan rumah. Ma’mun termasuk kenalan dekat Iwan Fals. Dia mengenal keluarga Fals sejak 1985 ketika mulai mondok di sebuah rumah di Jalan Barkah, daerah Manggarai di pusat Jakarta. Rumah itu milik Lies Suudiyah, seorang pekerja sosial dan ibunda Iwan.


Fals waktu itu sudah berkeluarga dan tinggal di Condet. “Panggilan rumahnya Tanto,” kata Ma’mun. Nama lengkapnya Virgiawan Listanto. “Galang masih kecil, belum sekolah, mungkin empat atau lima tahun. Cikal baru bisa jalan,” kata Ma’mun, mengacu pada anak Iwan: Galang Rambu Anarki dan Anisa Cikal Rambu Basae.


Entah kenapa keduanya cocok. Ma’mun usianya tiga tahun lebih tua dari Iwan. Ma’mun kelahiran Solo 1958 sedang Iwan Jakarta 1961. Mungkin mereka punya karakter dasar yang sama. Keduanya orang yang tak ragu mempertanyakan apapun. Saya terkesan dengan kerendahan hati mereka. Ketika mondok, Ma’mun bekerja sebagai pegawai PT Pembangunan Jaya sementara Iwan sudah mulai dikenal sebagai penyanyi. Persahabatan mereka berlanjut hingga sekarang. Ma’mun termasuk orang yang diminta Iwan jadi pengurus Yayasan Orang Indonesia—yayasan sosial yang dibentuk dan diketuai Iwan sendiri.


Pengalaman berkesan Ma’mun terjadi ketika mereka lagi membaca harian sore Sinar Harapan yang memuat foto anggota-anggota parlemen ketiduran saat sidang. “Wah, ini perlu disentil To,” kata Ma’mun.


Iwan menyanding gitar dan Ma’mun membawa pena. Mereka bekerja mencari lirik dan musik. Semalaman mereka bekerja. Hasilnya, lagu Surat Untuk Wakil Rakyat yang dimasukkan dalam album Wakil Rakyat (1987). Ma’mun bangga dengan karya bersama ini apalagi ketika mahasiswa menjadikan lagu itu “lagu wajib” demonstrasi. Hingga kini Ma’mun rutin mendapatkan kiriman uang royalti dari Musica—produser dan distributor sebagian besar album Fals.


Ma’mun menilai temannya itu sebagai salah satu penyanyi kritik sosial terkemuka di Indonesia. Iwan menggunakan bahasa Indonesia, untuk bercerita tentang anak maling yang jadi maling, sunatan massal, pelacur, korupsi, nasib guru, dan sebagainya. Majalah Time Mei lalu menyebutnya “pahlawan Asia”—sejajar dengan Jackie Chan, Xanana Gusmao, dan Aung San Suu Kyi.


Kalau artis lain menjaga penampilan mereka lewat make up menyala, potongan rambut aneh, kostum unik, atau operasi plastik untuk memperindah diri, Iwan Fals tampil biasa. Beberapa kali saya menyaksikan Iwan memakai kaos Shanghai, kaos katun tipis dan lembut, yang harganya Rp 10 ribu selembar, saat konser. Orang toh tetap histeris melihatnya. Iwan mungkin punya kharisma.


Amir Husin Daulay, seorang aktivis mahasiswa 1980-an dari Yayasan Pijar, menyebut Fals “nabi buat para pengikutnya.” Pada 1983, Daulay mengundang Fals mengamen ke kampus Akademi Ilmu Statistik. Iwan datang bersama Yos, membawa gitar, menyanyikan empat lagu, dan mendapat honor Rp 400 ribu. Pengalaman mengamen, yang dilakukannya bertahun-tahun, melatih Iwan menghadapi massa, dari pentas ke pentas, sehingga tahu bagaimana mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur suara, mana yang disukai, mana yang tak disukai.


Persahabatan Ma’mun dan Iwan meningkat seiring karier mereka berdua. Antara Sarjana Muda hingga album Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu pada 1989, Iwan menghasilkan 13 album bersama Musica. Artinya, hampir satu album tiap enam bulan. Ini luar biasa.


Pada 1989 Iwan menerbitkan album Mata Dewa bersama Arena Indonesia Production (Airo). Mereka berniat mengadakan tur 100 kota. Konser perdana 26 Februari 1989 di Jakarta berjalan baik tapi buntutnya sebelas kendaraan bermotor dirusak. Mengapa kerusuhan terjadi? Sampai hari ini belum ada penjelasan rinci. Apa polisi kurang profesional? Atau Arena Indonesia Production kurang siap? Atau Fals mengeluarkan kalimat-kalimat yang memprovokasi massa?


Tapi tur jalan terus ke Pulau Sumatra. Sore hari 9 Maret 1989, Ma’mun dan Iwan Fals berada di sebuah hotel di Palembang. Keesokannya, Iwan bakal tampil di konser Mata Dewa. Sehabis makan malam, Ma’mun dan Iwan masuk kamar. Di depan cermin, mereka bicara soal persiapan konser.


“Gayane ngene yo? (Gayanya gini ya?)” tanya Iwan, sambil memegang gitar akustik.


“Ojo ndingkluk. Rodo ndegek (Jangan menunduk. Agak membusung),” kata Ma’mun. Iwan pun mengubah gayanya memegang gitar.


“Nek penyanyi rock ngene lho! (Kalau penyanyi rock begini lho!)” kata Ma’mun, mengambil gitar dan memberi contoh.


Mereka diskusi sebelum tidur. Keesokan harinya, Sofyan Ali, promotor Arena Indonesia Production, memberi kabar buruk. Polisi Palembang memberitahu ada radiogram dari markas polisi Jakarta. Mereka melarang Fals melanjutkan tur guna menghindari kekacauan. Padahal alat-alat sudah siap, panggung sudah siap. Rencana pertunjukan Palembang, Padang, Jambi, Medan, dan Banda Aceh dilarang. Iwan menangis. “Buat Iwan panggung adalah kehidupannya. Dia jadi hidup kalau di panggung,” kata Ma’mun.


Ironisnya, polisi melarang ketika belum ada penelitian tuntas mengapa keributan Jakarta terjadi. Di mana-mana kumpulan massa punya potensi ribut, dari massa sepak bola hingga musik. Ini tak berarti orang dilarang main bola atau nonton musik bukan? Bagaimana kebudayaan manusia akan maju kalau khawatir ribut? Bukankah polisi dibayar, bahkan negara diadakan, agar kebudayaan bisa maju, agar demokrasi bisa berkembang?


Lebih susah lagi. Di Indonesia, banyak orang malas berpikir, banyak wartawan malas melakukan reportase, dan lebih banyak lagi orang yang suka mengembangkan teori “pihak ketiga.” Di mana-mana ada teori ini. Buruh dilarang demonstrasi karena ditunggangi “pihak ketiga.” Mahasiswa bikin rusuh karena “pihak ketiga.” Saya mempelajari laporan berbagai suratkabar Indonesia dan melihat ada tiga teori “pihak ketiga” di balik pembredelan Mata Dewa.


“Pihak ketiga” pertama adalah “mafia Glodok” yang meminjam tangan polisi untuk mematahkan gaya distribusi kaset ala Sofyan Ali. “Mafia Glodok” adalah sebutan untuk industri rekaman yang berpusat di Glodok, Jakarta. Mereka kebanyakan dikelola pengusaha Indonesia etnik Tionghoa dan dianggap kurang menghargai seni, kurang menghargai musisi, tapi menguasai distribusi kaset. Spekulasi ini datang karena Iwan Fals pindah dari Musica ke tempat Sofyan Ali.


“Pihak ketiga” kedua adalah “industri rokok tertentu” yang meminjam tangan polisi guna menjegal pemasaran rokok Djarum—sponsor utama Mata Dewa. “Pihak ketiga” ketiga adalah pejabat-pejabat “tertentu” yang tak senang dengan kritik sosial Fals.


Tak ada bukti kuat untuk mendukung ketiga teori itu. Tapi cukup banyak alasan mengatakan ketiganya spekulatif. Iwan tak sepenuhnya pindah dari Musica karena ia juga mengerjakan lagu Kemesraan bersama artis Musica. “Saya merasa bersyukur punya partner Musica,” kata Iwan pada saya. Bisnis musik juga kecil sekali dibanding bisnis rokok. Raksasa industri rokok Djarum (Kudus), Sampoerna (Surabaya), Gudang Garam (Kediri), dan BAT (Jakarta) memang bersaing tapi juga bergabung dalam suatu kartel. Promosi lewat Fals memang penting tapi hanya sebagian kecil dari promosi Djarum. Keuntungan Djarum tahun lalu saja sebesar Rp 2,08 triliun atau hampir dua kali lipat omzet semua industri rekaman Indonesia. Siapa pejabat yang tak suka Fals? Setiawan Djody, rekanan bisnis Sofyan Ali dan salah satu pemegang saham PT Airo Swadaya Stupa, juga dekat dengan kalangan pejabat. Mengapa tak ada yang bicara dengan Djody?


Di Palembang tak ada verifikasi dan tawar-menawar. Kekuatan negara Orde Baru sangat kuat. Jangankan Iwan Fals. Protes dari hampir semua organisasi nirlaba di Indonesia, terhadap penggenangan desa-desa calon waduk Kedung Ombo bulan sebelumnya, juga diabaikan rezim Soeharto. Bank Dunia, yang mendanai Kedung Ombo, tak berbuat banyak melihat puluhan ribu petani mengungsi menyelamatkan harta dan nyawa. Iwan melawan. Dia jalan sendirian ke Padang, Jambi, dan lainnya, untuk memberitahu publik dia tak bisa memenuhi janji karena dilarang polisi. Ma’mun pulang ke Jakarta membawa pulang peralatan dengan delapan truk. “Pakaian saya bawa, kopernya saya bawa pulang. Dia cuma bawa pakaian satu.”


Di Jakarta, pelarangan itu juga memprihatinkan musisi lain. Sawung Jabo, musikus dari komunitas Sirkus Barock, menelepon Iwan untuk menyatakan simpati. Iwan pernah ikut pementasan Sirkus Barock pada 1986.


“Saya lupa persisnya. Suatu malam Iwan datang ke rumah saya di Pasar Minggu, yang notabene rumah tempat kami sering ngumpul. Iwan menawarkan untuk membuat album,” kata Jabo.


“Pada awalnya Iwan, kalau tidak salah mengusulkan nama Septiktank, tapi saya dan beberapa kawan menolaknya. Lalu kita mengusulkan nama yang kami pilih lewat lotere. Setelah diundi terpilihlah nama Swami, yang kebetulan nama itu usulan saya.” Ini plesetan dari kata “suami” karena mereka semua sudah beristeri.


Rata-rata awak Swami pernah terlibat Sirkus Barock. Baik pemain flute Naniel, pemain gitar bass Nanoe, pemain piano Tatas, apalagi drummer Inisisri yang banyak memberi warna musik Sirkus Barock. Hanya Jockie Suryoprayogo dan Totok Tewel agak baru di Sirkus Barock.


Mereka pun bekerja. Lagu paling spektakular berjudul Bento. Iwan sempat mengajak Ma’mun pergi ke studio tempat mixing dan minta komentar tentang Bento. Ma’mun berkomentar, “Wah, ini kayak virus. Ini cepet nyebarnya.”


“Iki piye Mas? (Ini bagaimana Mas?)” tanya Iwan.


“Apik. Virus kabeh (Bagus. Virus semua).”


Iwan dan kawan-kawan senang. Mereka makan nasi bungkus sembari mengobrol hingga pagi.


Bento diciptakan Iwan dan Naniel. Liriknya tentang seorang pengusaha serakah dan korup. Bisnisnya “menjagal apa saja” asal dia senang dan persetan orang susah. "Bento" sendiri artinya “goblok” dalam dialek Jawa Timuran. Ketika mengarang Bento, Iwan sempat memperhatikan seorang pengusaha, yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. Karakter Bento dibuatnya dari pengusaha ini. “Tapi saya nggak perlu sebut (namanya). Saya nggak kenal pribadi, kenal jarak jauh,” katanya pada saya.

Artikel ini dicopy dari : iwanfalsmania.blogspot.com. Pada tanggal 24 Juli 2011


   

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More