Setiap kali mendengar lagu-lagu Iwan Fals (selanjutnya disingkat IF), banyak orang yang sejenak tersadar akan kondisi sosial tanah air. Orang suka, gemar dan gandrung pada IF karena lagu-lagunya mudah dicerna dan mengandung pesan-pesan humanis yang mendalam. Lirik-lirik lagunya bagaikan kolaborasi antara ayat-ayat Tuhan dan resonansi kondisi sosial Indonesia sendiri. Karena itu, ada orang yang menganggap IF “utusan Tuhan” untuk rakyat Indonesia.
Tentu ada banyak alasan menyebut IF “utusan Tuhan”. Yang terpenting adalah kandungan renungan dan penghayatan subjektif atas lagu-lagu, serta karakter pribadinya. Kita mungkin tidak hafal betul tahun berapa tiap lagu IF diciptakan. Mungkin itu tak penting. Yang lebih penting adalah menghafal inti pesan yang terkandung dalam lirik-liriknya. Karena itu, sebagian besar lagu IF begitu melekat di kepala banyak orang. Melalui lagu-lagunya, kesadaran akan kondisi sosial-politik Indonesia mudah terkonstruksi di kepala Orang Indonesia (OI). IF mungkin bisa disebut guru sosiologi terbaik, paling tidak bagi Orang Indonesia.
Dari lirik lagu-lagunya, orang mudah menilai IF sebagai sosok “pemberontak”. Dia pemberontak terhadap kondisi sosial politik yang sebenarnya tak terlalu rumit untuk diurai. Setiap nurani yang hidup akan mudah menemukan bahwa “di sini” ada ketidakadilan, penindasan, dan, kerusakan moral. Hanya saja, ketidakjujuran memperumit semua itu, sehingga orang tak mampu mengatakannya. Kita lalu serempak terserang amnesia ketika berhadapan dengan nilai-nilai. Karena itu, yang menonjol di negeri ini adalah para penjilat, durno, kancil, bandit, karet, bunglon, dan lain-lain.
Kelebihan lirik lagu IF yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa ia tidak lahir dari ruang hampa. Lirik-liriknya lahir dari hasil jepretan atas kondisi sosial politik Indonesia sendiri, dengan penggunaan kata-kata sederhana, telanjang, dan kadang-kadang jenaka. Hampir seluruh profesi sosial orang Indonesia pernah dipotret secara sederhana tapi tetap mendalam oleh IF. IF mampu menyampaikan potret sosial itu dengan kata-kata yang mudah dicerna bahkan oleh nalar orang awam sekalipun. IF mampu melihat sisi yang manusiawi dari suatu profesi yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah. Contohnya adalah gambarannya tentang profesi pelacur atau yang kini lebih dikenal sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Sebagian besar kita hanya melihat PSK sebagai sampah masyarakat. Para agamawan juga ikut aktif menstigma profesi dan eksistensi mereka. Tapi IF mampu mengungkap kenyataan bahwa di antara mereka terdapat perempuan-perempuan yang berjuang untuk anak-anak mereka yang tak jelas rimba ayahnya. Bahkan IF memberi harapan bahwa Tuhan akan tetap mendengar doa mereka. Cermati lagunya yang berjudul Doa Seorang Wanita Pengobral Dosa. Pandangan yang humanis ini tentu tak akan kita temukan pada diri orang yang tak punya kesadaran sosial dan spiritual yang mendalam.
Dalam politik, orang mungkin akan mencemooh IF andai dia menjadi seorang politisi. Pandangan-pandangan politik yang ada dalam lagu-lagunya tidak akan dijadikan mars oleh para demonstran jika dia ikut dalam “dunia pestapora para binatang”. IF akan segera disejajarkan dengan mereka yang senang “bermain lompat karet”. Kenyataannya, IF betul-betul menunjukkan karakternya dalam menyikapi kondisi sosial politik berhadapan dengan pamor dirinya. IF betul-betul “patah arang” terhadap politik. Bagi IF, panggung politik adalah panggung para binatang yang merasa diri sebagai bintang (Asyik Gak Asyik).
Padahal, jika mau, dengan wibawa dan popularitasnya, partai manapun akan siap menerima IF sebagai bagian dari elitnya. Bahkan mendirikan partai pun bisa ia lakukan, walau belum tentu jadi besar. Dan itu berarti hasrat untuk memperkaya diri akan menemukan jalurnya, sebagaimana banyak dilakukan para belalang (Belalang Tua). Namun, kekuatan karakter yang ada dalam dirinya dengan keras membimbing IF agar tidak tergiur ikut pesta. Di era reformasi (katanya), lagu-lagunya yang terbundel dalam album terakhir, Manusia Setengah Dewa, mempertegas sikap sosial politik dan karakter dirinya sebagai seorang “utusan Tuhan”.
Hal yang mengagumkan dalam diri IF adalah kematangan diri yang sulit kita temukan dalam diri kebanyakan orang. Dia adalah “utusan Tuhan” yang menerima wahyu non-evaluatif untuk disampaikan kepada masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat manusia. Walau lirik dalam lagu-lagunya begitu kental pesan-pesan moral (di balik kritik sosial pasti ada pesan moral) yang realistik dan eternal, namun kerendahan hati dan ketenangan tampak begitu inheren dalam dirinya akhir-akhir ini. Gaya bicara yang tak lantang (baca: pongah) lagi, menunjukkan bahwa IF sadar bahwa dirinya bukanlah manusia setengah dewa.
Dia tak berpretensi bahwa untuk membenahi kondisi sosial politik di Indonesia cukup dengan bernyanyi. Ini membuatnya tidak pernah geer. Namun, pergulatan batin yang dahsyat tentang ketimpangan sosial yang terjadi di Bumi Pertiwi, tetap ia suarakan dengan lantang lewat lagu. Kelantangan itu seolah ia cukupkan diwakili oleh lagu. Sikap diri seorang IF, jika harus diberi tanda, maka tak lain adalah konsistensi dan integritas.
Mendengarkan lagu-lagu cinta IF, kita akan menangkap bahwa cinta yang dihayatinya adalah cinta orang-orang marjinal. Itu bisa kita lihat dalam lagu-lagu seperti Lonteku, Kembang Pete, Yakinlah (duet bersama Eli Sunarya) dan lain-lain. Itulah cinta yang jujur, dalam, dan kere. Saking kere-nya, seorang lelaki hanya mampu mempersembahkan kembang pete kepada perempuan pujaannya. Keberpihakan IF pada rakyat kecil nan marjinal begitu jujur dan mendarahdaging. Dalam lagu-lagu cinta pun ia memilih potret cinta-cinta orang pinggiran.
Dalam lagu, orang biasanya bicara tentang cinta yang mengandaikan keserbacukupan materi; cinta yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lupa akan kondisi sosialnya; cinta yang cengeng, genit, glamor dan norak. Perhatikan kebanyakan lagu-lagu cinta yang dinyayikan di negeri ini; tidak pernah dewasa.
Seorang kawan pernah menyatakan ketidaksetujuannya pada IF, karena dia pernah mengeritik Tuhan dalam salah satu syair lagunya, Tolong Dengar Tuhan! Lagu itu ia nyanyikan setelah meletusnya gunung Galunggung di Tasikmalaya. Jika disikapi dengan nalar terbuka, lagu itu justru merupakan ekspresi penghayatan tentang alam semesta dan Tuhan yang dialami oleh orang yang bebas dan berani. Dalam dunia filsafat, penghayatan seperti itu justru banyak diungkapkan oleh para filsuf. Penghayatan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teologi atroposentris.
Jadi, menghayati isi lagu-lagu IF, kita akan menemukan kecenderungan humanisme yang kuat. Humanisme yang dari zaman ke zaman selalu disuarakan oleh para utusan Tuhan. Kini dan di sini, IF adalah utusan Tuhan yang diabaikan.
0 comments:
Post a Comment